“Memperingati Hari Kemerdekaan RI”
Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan sebuah ikrar mengenai eksistensi nasional dan nasionalisme.
Proklamasi merupakan tombak perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme
Belanda. Perjuangan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 mencapai
titik puncak dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh
Soekarno-Hatta. Proklamasi kemerdekaan menjadi sejarah berdirinya Negara
Republik Indonesia.
(Foto: Prof. Sutaryo)
Berbicara mengenai Kemerdekaan, bangsa Indonesia yang tentunya telah
merdeka selama kurun waktu lebih dari setengah abad tentu banyak mengalami
perubahan dalam segala sektor kehidupan. Dunia kesehatan merupakan salah satu
sektor yang banyak mengalami perubahan. Perubahan dalam segi pengobatan, sistem
pelayanan kesehatan, jumlah tenaga kesehatan dan tentunya infrastuktur
kesehatan.
Menengok perjuangan dokter pada zaman penjajahan Belanda, dokter
melakukan pendidikan secara umum dan berulang serta terus mengabdi demi kepentingan
Belanda yang semata-mata menyehatkan pekerja yang bekerja sebagai buruh pabrik.
Dokter – dokter pribumi pada saat itu bekerja semata – mata untuk kepentingan
Belanda. Sebagai contoh, saat dr. Cipto Mangunkusuma dan anak angkatnya yang
berhasil menyembuhkan penyakit PES, Belanda lebih percaya pada kemampuan dokter
pribumi, ungkap prof Taryo.
Prof Taryo menambahkan mengenai pentingnya pendidikan pancasila dalam
pendidikan tahap akademik. Ki Hajar
Dewantoro menuturkan bahwa tujuan pendidikan hendaknya untuk kepentingan bangsa
dan Negara. Pada tahun 70an produk pendidikan dokter masih sangat terasa sampai
pucuk Indonesia. Banyak dokter yang berjiwa nasionalisme tinggi mau untuk
mengabdi ke daerah terpencil di Indonesia. UGM sendiri melahirkan dokter –
dokter yang tergabung dalam Community
Medicine yang siap diterjunkan ke masyarakat. Kondisi berbeda pada sistem pendidikan yang sekarang. Sistem yang
ada mengusur nilai – nilai luhur pendidikan
yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu ; untuk diri sendiri,
memiliki rasa kebangsaan dan kemanusiaan yang sebenarnya tidak hanya untuk
dokter. Namun, sekarang keadaan
menunjukkan bahwa kurangnya rasa kebangsaan dan kemanusiaan pada diri putra
bangsa. Kondisi ini, justru sejalan dengan musuh dari pancasila, yaitu
perubahan dari fundamental itu sendiri. Fundamental pasar dan fundamental
agamalah yang tenggah mengerogoti bangsa ini, istilah yang lebih dikenal
adalah VOC gaya baru. Akibat dari
pengaruh pangsa pasar, bangsa ini mempunyai sikap individualistik yang tinggi. Fenomena
individualistik membawa pengaruh terhadap perubahan mindset dari lulusan yang ada. Terbukti dengan 1/3 puskesmas
kekurangan tenaga dokter di beberapa daerah.
Sejumlah 65% dokter berada di kota. Dalam hal ini tentu saja peran pemerintah
yang kurang menyentuh sisi yang dikeluhkan. Karena biaya pendidikan jenjang
kedokteran di sejumlah kalangan dirasa mahal, hal itulah yang membuat para
lulusan terpikir untuk bekerja dan berorientasi pada materi dan
individualistik.
Oleh karena itu, diperlukan pendidikan pancasila kepada para dokter.
Tujuannya agar dokter bisa mandiri sejak dini, berwawasan kebangsaan dan
kemanusiaan. “Basis nya adalah etika, jika kita hanya melihat materi tidak aka ada
habisnya”, Ungkap Prof Taryo. Tetapi jangan salah jika di Indonesia masih ada
dokter yang rela mengabdi hanya dengan dibayar duariburupiah, beliau diberi
diberi julukan dokter seriburupiah dan mengabdi di Papua, seperti itulah bisa
dijadikan idola. Satu hal yang ditambahkan oleh prof Taryo bahwa kita ingat
kredo kedokteran, jadi dokter (pedagang) bagus, baiknya jadi dokter (bagus) dan
pedagang (bagus).
Nara Sumber : Prof
Sutaryo
Pewawancara dan Penulis: Ratna
Herlia Dewi Mahasiswa Ugm 2008
No comments:
Post a Comment