Monday, March 19, 2012

MENELADANI KARIER PROF SARDJITO* Oleh : Prof Sutaryo


“Dengan Memberi Seseorang Menjadi Kaya”
       Prof. Dr.M.Sardjito, M.D., M.P.H. merupakan putra  pertama dari lima bersaudara. Putra dari Pak Sajit yang berprofesi sebagai guru ini lahir pada tanggal 13 Agustus 1989 di Desa Purwodadi, Kawedanan Magetan, Karesidenan Madiun, Jawa Timur. 

Pendidikan Prof Sardjito
      Pada usia 6 tahun, Prof Sarjito mengawali pendidikan umumnya di Sekolah Rakyat dan mulai belajar Al-Qur’an. Tahun 1889 keluarga Prof Sardjito pindah ke Lumajang, Prof Sardjito pun menyelesaikan Sekolah Rakyat di kota ini kemudian lulus pada tahun 1901.
       Di Lumajang pula Prof Sardjito melanjutkan pendidikannya di sekolah Belanda antara tahun 1901 – 1907. Setelah lulus, Prof Sardjito melanjutkan pendidikannya di Stovia (School tot Opleiding voor Indische Artsen), Jakarta tahun 1907. Saat itu, Prof Sardjito juga turut serta menjadi anggota aktif Budi Utomo.
       Prof Sardjito lulus dari STOVIA dengan predikat lulusan terbaik pada tahun 1915. Setelah lulus, Prof Sardjito bekerja sebagai dokter di RS Jakarta selama satu tahun, kemudian pindah ke Institute Pasteur Jakarta sampai tahun 1920. Institute Pasteur Jakarta merupakan laboratorium riset terkemuka di belahan bumi selatan, yang menghasilkan nobel bagi Eyckman, penemu penyakit beri – beri dan vitamin B1. Karena itu, jiwa peneliti Prof Sardjito ikut terbangun di sekolah ini. Pada tahun 1918 sampai 1919 Prof Sardjito mengikuti tim penelitian khusus influenza. Influenza adalah penyakit pertama yang Prof Sardjito teliti.
      Pada tahun 1920 sampai 1922 prof Sardjito melanjutkan sekolah di Fakultas Kedokteran Universitas Amsterdam kemudian tahun 1922 – 1923 pindah ke Universitas Leiden untuk belajar lebih intensif mengenai penyakit tropis. Prof Sardjito mendapatkan promosi doctor dari Universitas Leiden Belanda pada tahun 1923. Judul disertasi beliau “Immunisatie tegen Anti-Dysenterie door Middle van Bacteriophaag Anti-Dysenterie Shiga-Kruse” dengan promoter Prof. Dr. PC Flu. (Ada anekdote yang sering kita dengar demikian: kehidupan Prof. Sardjito sangat berhubungan erat dengan “flu”, yaitu penelitian pertama Prof. Sardjito tentang flu, promoter di Leiden oleh Prof. Flu, sebagai penyebab penyakit sampai beliau wafat adalah sakit flu).
      Setelah lulus Prof Sardjito melanjutkan pendidikan ke John Hopkins University Amerika Serikat untuk sekolah hygiene dan mendapat gelar Master of Public Health (MPH). Didasari jiwa berorganisasi yang tinggi Prof Sardjito tetap aktif dalam organisasi Budi Utomo. Pada tahun 1925 menjadi ketua Budi Utomo cabang Jakarta. Prof Sardjito juga menjabat anggota pemerintahan kotapraja dan wakil wethouder Jakarta. Pada tahun 1931-1932, memperoleh tugas belajar tentang laboratorium di Reich-Gesundheitant, Berlin, Jerman.

Merintis Karir
Dunia pendidikan dan kedokteran memang telah mendarah daging dalam jiwa seorang Prof Sardjito. Berikut merupakan perjalanan karir Prof Sardjito:
-          Tahun 1924 – 1929 setelah pulang dari Amerika Serikat menjadi dokter di bagian Laboratorium Pusat Jakarta.
-          Tahun 1929 menjadi asisten Kepala Sekolah Tinggi Kedokteran (GHS/ Geneeskundige Hoogeschhoool).
-          Tahun 1930 menjadi kepala Laboratorium Makasar.
-          Tahun 1932-1945 menjadi Kepala Laboratorium Semarang. Selama 1932- 1942 meneliti lepra sambil menjadi Pemimpin redaksi Medische Brichten (Berita Ketabiban)

Prof Sardjito dan Sejarah UGM
      Pada saat Ibukota Indonesia dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta tanggal 4 Januari 1946. Tanggal 24 Januari 1946 di SMT Kotabaru muncul gagasan mendirikan Balai Perguruan Tinggi yang diberi nama Gadjah Mada yang bersifat kerakyatan dan swasta. BPT UGM berdiri 17 Februari 1946.
      Tanggal 20 Mei 1949 di Kepatihan Yogyakarta dilangsungkan rapat penggabungan perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta, Klaten, dan Solo. Saat itu Prof Sardjito mewakili perguruan tinggi yang ada di Solo dan Klaten. Karena tidak ada gedung untuk kantor dan ruang kuliah, Prof Sardjito menyatakan untuk memikirkannya terlebih dahulu. Selain itu, pemindahan perguruan tinggi dari Klaten dan Solo memiliki resiko yang tinggi karena pada saat itu masih sering terjadi perang melawan Belanda di wilayah tersebut. Sri Sultan HB IX memberikan Mangkubumen sebagai tempat untuk perguruan tinggi sehingga pemindahan perguruan tinggi dari Klaten dan Solo yang dikomando oleh Prof Sardjito dapat berjalan lancar.
Pada tanggal 1 November 1949 dibuka kompleks Ngasem yang menggunakan lokasi di Kadipaten. Pada awal berdirinya perguruan tinggi di Yogyakarta menggunakan kamar kereta untuk poliklinik, kamar penjaga untuk laboritorium bakteriologi, kamar pelayan menjadi laboratorium kimia, rumah sakit darurat dan gedungnya dijadikan laboratorium fisika, bahkan kandang kuda juga dijadikan rumah sakit. Rumah sakit dari kandang kuada inilah yang menjadi tonggak berdirinya RSUP Sardjito saat ini.
     PP No 23 tertanggal 16 Desember tahun 1949 menetapkan bahwa perguruan tinggi perlu digabung dan diberi nama Universitas Negeri Gadjah Mada (UNGM). Pada saat itu Prof Sardjito terpilih sebagai rector pertama UGM (Presiden Universiteit) dan dilantik pada usia lebih dari 60 tahun.
     Prof Sardjito didukung oleh Notonagoro berhasil meletakkan kerangka dasar didirikannya UGM dalam bentuk PP No. 37 Tahun 1950 yang berbunyi “Universitas Negeri Gadjah Mada adalah balai nasional ilmu pengetahuan dan kebudayaan, bertugas atas dasar cita-cita bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pancasila, membentuk manusia susila, yang cakap, dan mempunyai keinsyafan bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya”. Prof Sardjito membangun Gedung Pusat UGM sejak tahun 1951-1959. Sepanjang karir beliau menjadi Rektor UGM terdapat 3 gelar doctor Honoris causa yang diberikan UGM, yaitu kepada; Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan ki Hadjar Dewantara.
 
Penelitian
      Semangat meneliti Prof Sardjito sangatlah besar, karena sejak muda tergembleng di Laboratorium yang terdepan di jamannya. Selain berkutat pada influenza, baksiler disentri, lepra, Prof Sardjito juga meneliti dan menemukan obat batu ginjal dari Sonchus Avensis L (tempuyung) yang terkenal dengan Calcusol. Untuk penemuan ini Prof. Sardjito berpesan ”… tidak boleh menjual obat ini mahal-mahal. Obat ini untuk rakyat. Banyak rakyat yang menderita penyakit batu ginjal. Kasihan kalau mereka harus operasi.”
     Pada saat perang revolusi kemerdekaan (suasana embargo) Prof Sardjito mampu membuat vaksin anti penyakit infeksi seperti typus, kolera, dysenteri, stafilokoken, streptokoken, dll. Bahkan pada saat itu mampu membuat tablet makanan yang berisi cukup kalori, protein, dan vitamin yang dapat dipergunakan oleh tentara di garis depan pertempuran. Karya lain beliau adalah di bidang paleoanthropologi dan seni pahat.

Penghargaan
-          Tahun 1949-1961 Prof Sardjito menjadi Rektor UGM.
-          Tahun 1960 mendapat penghargaan Bintang Keilmuan dari Uni Soviet
-          Tahun 1961 mendapat penghargaan Bintang Satya Lencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan dan Bintang Satya Lencana Karya Satya
-          Tahun 1964 menjadi rector UII.
-          Tahun 1967 menjadi anggota MPRS.
-          Tahun 1968 menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung.
-          Tahun 1973 mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Tingkat II secara anumerta
Selain itu, Founding Father UGM ini masih banyak lagi mendapatkan penghargaan baik secara nasional maupun internasional.

Pribadi Sardjito
      Rektor pertama UGM ini adalah penggemar seni, wayang, permainan biola dan gong, seni pahat dan seni lukis, serta beliau menggemari olah raga tenis. Prof Sardjito memiliki tutur kata yang lemah lembut. Beliau sangat sabar terhadap mahasiswanya, jika melihat mahasiswanya yang kurang bias beliau pun menegurnya. Selain itu, Prof Sardjito juga merupakan pribadi yang sederhana dan suka menolong, memunyai prinsip kuat bahwa member lebih baik daripada meminta, serta sosok peneliti yang tekun dan pantang menyerah.
      Acara rutin yang beliau lakukan di pagi hari adalah membaca buku, sholat subuh kemudian dilanjutkan membaca koran pagi sambil sarapan pagi berupa roti, susu, dan buah. Selain itu sesekali beliau juga mendengarkan radio. Rektor pertama UGM ini wafat pada Selasa, 5 Mei 1920.“…Prof Sardjito merupakan seorang scientific dan spiritualis…” ungkap Prof. Taryo.

*Artikel disandur dari tulisan Prof. Sutaryo dalam karya “Sang Tauladan Sang Maha Guru
* Tulisan untuk dimuat di majalah EFKAGAMA
* Ratna Herlia Dewi (Freelance Writer)

1 comment: