“Dengan
Memberi Seseorang Menjadi Kaya”
Prof. Dr.M.Sardjito, M.D., M.P.H.
merupakan putra pertama dari lima
bersaudara. Putra dari Pak Sajit yang berprofesi sebagai guru ini lahir pada tanggal
13 Agustus 1989 di Desa Purwodadi, Kawedanan Magetan, Karesidenan Madiun, Jawa
Timur.
Pendidikan Prof Sardjito
Pada usia 6 tahun, Prof Sarjito mengawali
pendidikan umumnya di Sekolah Rakyat dan mulai belajar Al-Qur’an. Tahun 1889
keluarga Prof Sardjito pindah ke Lumajang, Prof Sardjito pun menyelesaikan
Sekolah Rakyat di kota ini kemudian lulus pada tahun 1901.
Di Lumajang pula Prof Sardjito
melanjutkan pendidikannya di sekolah Belanda antara tahun 1901 – 1907. Setelah
lulus, Prof Sardjito melanjutkan pendidikannya di Stovia (School tot Opleiding
voor Indische Artsen), Jakarta tahun 1907. Saat itu, Prof Sardjito juga turut
serta menjadi anggota aktif Budi Utomo.
Prof Sardjito lulus dari STOVIA dengan
predikat lulusan terbaik pada tahun 1915. Setelah lulus, Prof Sardjito bekerja
sebagai dokter di RS Jakarta selama satu tahun, kemudian pindah ke Institute
Pasteur Jakarta sampai tahun 1920. Institute Pasteur Jakarta merupakan
laboratorium riset terkemuka di belahan bumi selatan, yang menghasilkan nobel
bagi Eyckman, penemu penyakit beri – beri dan vitamin B1. Karena itu, jiwa
peneliti Prof Sardjito ikut terbangun di sekolah ini. Pada tahun 1918 sampai
1919 Prof Sardjito mengikuti tim penelitian khusus influenza. Influenza adalah penyakit
pertama yang Prof Sardjito teliti.
Pada tahun 1920 sampai 1922 prof Sardjito
melanjutkan sekolah di Fakultas Kedokteran Universitas Amsterdam kemudian tahun
1922 – 1923 pindah ke Universitas Leiden untuk belajar lebih intensif mengenai
penyakit tropis. Prof Sardjito mendapatkan promosi doctor dari Universitas
Leiden Belanda pada tahun 1923. Judul disertasi beliau “Immunisatie tegen Anti-Dysenterie door Middle van Bacteriophaag
Anti-Dysenterie Shiga-Kruse” dengan promoter Prof. Dr. PC Flu. (Ada
anekdote yang sering kita dengar demikian: kehidupan Prof. Sardjito sangat
berhubungan erat dengan “flu”, yaitu penelitian pertama Prof. Sardjito tentang
flu, promoter di Leiden oleh Prof. Flu, sebagai penyebab penyakit sampai beliau
wafat adalah sakit flu).
Setelah lulus Prof Sardjito melanjutkan
pendidikan ke John Hopkins University Amerika Serikat untuk sekolah hygiene dan
mendapat gelar Master of Public Health (MPH). Didasari jiwa berorganisasi yang
tinggi Prof Sardjito tetap aktif dalam organisasi Budi Utomo. Pada tahun 1925
menjadi ketua Budi Utomo cabang Jakarta. Prof Sardjito juga menjabat anggota
pemerintahan kotapraja dan wakil wethouder Jakarta. Pada tahun 1931-1932,
memperoleh tugas belajar tentang laboratorium di Reich-Gesundheitant, Berlin,
Jerman.
Merintis Karir
Dunia
pendidikan dan kedokteran memang telah mendarah daging dalam jiwa seorang Prof
Sardjito. Berikut merupakan perjalanan karir Prof Sardjito:
-
Tahun 1924 – 1929 setelah pulang dari
Amerika Serikat menjadi dokter di bagian Laboratorium Pusat Jakarta.
-
Tahun 1929 menjadi asisten Kepala
Sekolah Tinggi Kedokteran (GHS/ Geneeskundige Hoogeschhoool).
-
Tahun 1930 menjadi kepala Laboratorium
Makasar.
-
Tahun 1932-1945 menjadi Kepala
Laboratorium Semarang. Selama 1932- 1942 meneliti lepra sambil menjadi Pemimpin
redaksi Medische Brichten (Berita Ketabiban)
Prof Sardjito dan
Sejarah UGM
Pada saat Ibukota Indonesia dipindah dari
Jakarta ke Yogyakarta tanggal 4 Januari 1946. Tanggal 24 Januari 1946 di SMT
Kotabaru muncul gagasan mendirikan Balai Perguruan Tinggi yang diberi nama
Gadjah Mada yang bersifat kerakyatan dan swasta. BPT UGM berdiri 17 Februari
1946.
Tanggal 20 Mei 1949 di Kepatihan
Yogyakarta dilangsungkan rapat penggabungan perguruan tinggi yang ada di
Yogyakarta, Klaten, dan Solo. Saat itu Prof Sardjito mewakili perguruan tinggi
yang ada di Solo dan Klaten. Karena tidak ada gedung untuk kantor dan ruang
kuliah, Prof Sardjito menyatakan untuk memikirkannya terlebih dahulu. Selain
itu, pemindahan perguruan tinggi dari Klaten dan Solo memiliki resiko yang
tinggi karena pada saat itu masih sering terjadi perang melawan Belanda di
wilayah tersebut. Sri Sultan HB IX memberikan Mangkubumen sebagai tempat untuk
perguruan tinggi sehingga pemindahan perguruan tinggi dari Klaten dan Solo yang
dikomando oleh Prof Sardjito dapat berjalan lancar.
Pada
tanggal 1 November 1949 dibuka kompleks Ngasem yang menggunakan lokasi di
Kadipaten. Pada awal berdirinya perguruan tinggi di Yogyakarta menggunakan
kamar kereta untuk poliklinik, kamar penjaga untuk laboritorium bakteriologi,
kamar pelayan menjadi laboratorium kimia, rumah sakit darurat dan gedungnya
dijadikan laboratorium fisika, bahkan kandang kuda juga dijadikan rumah sakit.
Rumah sakit dari kandang kuada inilah yang menjadi tonggak berdirinya RSUP
Sardjito saat ini.
PP No 23 tertanggal 16 Desember tahun 1949
menetapkan bahwa perguruan tinggi perlu digabung dan diberi nama Universitas
Negeri Gadjah Mada (UNGM). Pada saat itu Prof Sardjito terpilih sebagai rector
pertama UGM (Presiden Universiteit) dan dilantik pada usia lebih dari 60 tahun.
Prof Sardjito didukung oleh Notonagoro
berhasil meletakkan kerangka dasar didirikannya UGM dalam bentuk PP No. 37
Tahun 1950 yang berbunyi “Universitas Negeri Gadjah Mada adalah balai nasional
ilmu pengetahuan dan kebudayaan, bertugas atas dasar cita-cita bangsa Indonesia
yang termaktub dalam Pancasila, membentuk manusia susila, yang cakap, dan
mempunyai keinsyafan bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat
Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya”. Prof Sardjito membangun Gedung
Pusat UGM sejak tahun 1951-1959. Sepanjang karir beliau menjadi Rektor UGM
terdapat 3 gelar doctor Honoris causa yang diberikan UGM, yaitu kepada; Ir.
Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan ki Hadjar Dewantara.
Penelitian
Semangat meneliti Prof Sardjito sangatlah
besar, karena sejak muda tergembleng di Laboratorium yang terdepan di jamannya.
Selain berkutat pada influenza, baksiler disentri, lepra, Prof Sardjito juga
meneliti dan menemukan obat batu ginjal dari Sonchus Avensis L (tempuyung) yang
terkenal dengan Calcusol. Untuk penemuan ini Prof. Sardjito berpesan ”… tidak
boleh menjual obat ini mahal-mahal. Obat ini untuk rakyat. Banyak rakyat yang
menderita penyakit batu ginjal. Kasihan kalau mereka harus operasi.”
Pada saat perang revolusi kemerdekaan
(suasana embargo) Prof Sardjito mampu membuat vaksin anti penyakit infeksi
seperti typus, kolera, dysenteri, stafilokoken, streptokoken, dll. Bahkan pada
saat itu mampu membuat tablet makanan yang berisi cukup kalori, protein, dan
vitamin yang dapat dipergunakan oleh tentara di garis depan pertempuran. Karya
lain beliau adalah di bidang paleoanthropologi dan seni pahat.
Penghargaan
-
Tahun 1949-1961 Prof Sardjito menjadi
Rektor UGM.
-
Tahun 1960 mendapat penghargaan Bintang
Keilmuan dari Uni Soviet
-
Tahun 1961 mendapat penghargaan Bintang
Satya Lencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan dan Bintang Satya Lencana Karya
Satya
-
Tahun 1964 menjadi rector UII.
-
Tahun 1967 menjadi anggota MPRS.
-
Tahun 1968 menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung.
-
Tahun 1973 mendapat penghargaan Bintang
Mahaputra Tingkat II secara anumerta
Selain
itu, Founding Father UGM ini masih
banyak lagi mendapatkan penghargaan baik secara nasional maupun internasional.
Pribadi Sardjito
Rektor pertama UGM ini adalah penggemar
seni, wayang, permainan biola dan gong, seni pahat dan seni lukis, serta beliau
menggemari olah raga tenis. Prof Sardjito memiliki tutur kata yang lemah
lembut. Beliau sangat sabar terhadap mahasiswanya, jika melihat mahasiswanya
yang kurang bias beliau pun menegurnya. Selain itu, Prof Sardjito juga
merupakan pribadi yang sederhana dan suka menolong, memunyai prinsip kuat bahwa
member lebih baik daripada meminta, serta sosok peneliti yang tekun dan pantang
menyerah.
Acara rutin yang beliau lakukan di pagi
hari adalah membaca buku, sholat subuh kemudian dilanjutkan membaca koran pagi
sambil sarapan pagi berupa roti, susu, dan buah. Selain itu sesekali beliau
juga mendengarkan radio. Rektor pertama UGM ini wafat pada Selasa, 5 Mei
1920.“…Prof Sardjito merupakan seorang scientific
dan spiritualis…” ungkap Prof. Taryo.
*Artikel
disandur dari tulisan Prof. Sutaryo dalam karya “Sang Tauladan Sang Maha Guru”
* Tulisan untuk dimuat di majalah EFKAGAMA
* Ratna Herlia Dewi (Freelance Writer)